Golongan Menengah yang Kuat

Hidup ini selalu penuh pembelajaran. Salah satu anugerah terindah yang dapat kita terima adalah menyadari salah satu misi hidup yang akan kita tempuh. Ketika kita mengetahui misi hidup kita, semua yang sedang kita karyakan terasa begitu bermakna.

Barangkali seperti itu rasanya menjadi Kapten Jean-Luc Picard, kapten pesawat luar angkasa Enterprise dalam serial televisi Star Trek: The Next Generation. Jika Anda mengikuti serial ini, Anda bisa menyaksikan bahwa setiap awak pesawat sangat mendalami misinya:

“To Boldly Go Where No One Has Gone Before”

Semboyan ini selalu terngiang dalam kepala saya sebagai seorang anak. Anda mungkin berpikir ini hanya khayalan seorang anak kecil. Tapi, dari penggalan kalimat di atas, saya percaya pada sesuatu: Jika kita memiliki misi yang jelas, kita pun dapat menjalankan misi tersebut dengan sepenuh hati. Meskipun tujuan misi itu adalah pergi ke titik antah berantah.

Inilah misi besar saya:

“Mewujudkan Golongan Menengah Indonesia yang kuat.”

Inspirasi menulis tentang Golongan Menengah yang kuat hadir saat saya tanpa sengaja menonton pidato Barack Obama di Des Moines pada 20 Mei 2008. Saya bukan pemuja Obama, tapi hari itulah pertama kalinya saya betul-betul menyimak pidato yang begitu inspiratif dari seorang calon pemimpin negara.

20 Mei 2008
CEO Blog: Personal Views
The Barack Obama Factor

I’m watching CNN.

Barack Obama is giving his speech as he wins the majority democrats’ “plegdes”. (What this actually means, I don’t know)

I’m always into Hillary Clinton, he-he-he…

But today, as I listen to him, I think: This guy is GOOD!

He talks abour changing the healthcare system. Making sure all Americans have access to health insurance. Support for teachers and schools.

Heeelp!

I want the same thing for my country …

Kesehatan dan pendidikan adalah dua topik yang penting dalam setiap rencana keuangan yang kami kerjakan di QM Financial. Kebutuhan besar atas fasilitas kesehatan ini yang membuat generasi yang masih produktif harus menanggung beban generasi di atasnya. Hal ini terjadi karena generasi orangtua mereka, para pensiunan, saat ini memiliki fasilitas kesehatan yang sangat terbatas. Padahal generasi produktif ini juga harus menyekolahkan anak-anaknya. Ini kondisi yang genting.

Generasi produktif ini merupakan Golongan Menengah Indonesia. Golongan ini seharusnya kuat untuk mengurusi dirinya sendiri dan membantu orang lain. Golongan Menengah ini adalah penopang ekonomi negeri ini. Golongan inilah yang bisa meningkatkan kemampuan warga negara untuk melakuan ‘savings’ dan ‘investment’ – menabung dan berinvestasi.

Saya yakin negeri tercinta ini harus memiliki Golongan Menengah yang kuat. Golongan inilah yang mampu hidup berdaya, menggerakkan terus roda perekonomian, mendorong konsumsi dan investasi, membayar pajak dan membiayai anggaran negara. Golongan Menengah inilah yang menentukan masa depan Indonesia. Golongan ini harus kuat.

Kita punya MISI BESAR untuk memperkuat Golongan Menengah ini.

Jangan hanya membaca dan tidak bertindak.

Ayo kita mulai!

Menanamkan agama pada anak

Agama berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu,menanamkan agama pada anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya secara jelas.

Siapa pun pasti ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang sukses dan berakhlak mulia. Butuh kerja keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tentunya mustahil kalau kita selaku orangtua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat itu tiba.

Orangtua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka. Selain ilmu pengetahuan, pemahaman agama juga harus menjadi perhatian utama untuk mencetak anak berprestasi hebat dan mulia.

Jika konsep keagamaan telah diajarkan kepada anak sejak dini, kelak setelah dewasa anak akan mengetahui bahwa agama atau keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim diri sebagai penyelamat umat manusia, dan mengajarkan kebaikan kepada seluruh umatnya.

Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia, pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama.

Orangtua sebenarnya berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya, sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam.

Tetapi yang paling penting adalah sekolah di mana anak menganut agama yang berbeda tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan seagama untuk ikut pelajaran agama yang berbeda tersebut. Begitu pula di sekolah Islam, sekolah tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam untuk ikut pelajaran Islam.

“Sekolah tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anaknya yang bukan seagama mengikuti pelajaran agama yang berbeda di sekolah,” kata Psikolog Anak alumni Universitas Indonesia (UI), dr Farah Idris.

Ditambahkannya, menekan orangtua dan anak yang bukan seagama untuk memberi izin anak-anaknya mempelajari agama yang diajarkan di sekolah merupakan sebuah pelanggaran. Bila sekolah swasta beraliran agama tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari penganut agama berbeda, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati.

Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak seagama. Atau ada juga sekolah dengan agama tertentu membuka pintu bagi anak beragama lain, di sekolah anakanak berbeda agama ini akan ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi, sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri.

Dialog Antar Agama negaranegara Asia-Eropa (ASEM Dialog Interfaith) beberapa tahun lalu, menghasilkan deklarasi yang menyepakati upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi di antara umat manusia, mempromosikan perlindungan HAM, menentang digunakannya kekerasan, menentang penggunaan agama untuk merasionalsasi kekerasan, dan membangun harmoni di antara komunitas internasional.

Deklarasi ini juga merekomendasikan adanya studi antaragama sejak sekolah lanjutan pertama yang bertujuan menumbuhkan pemahaman dan penghargaan antarpemeluk agama yang berbeda. Rekomendasi Deklarasi tersebut menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia baik untuk orangtua ataupun anak-anak. Agar anak bisa mendalami agama yang dianutnya, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap dan memahami pluralitas bermasyarakat.

“Tanamkan kepada anak bahwa selain agama, pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem kemanusiaan yang berasal dari konflik-konflik keagamaan,” terang dia lagi.

Pendidikan agama yang diajarkan kepada anak-anak seharusnya bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan agama hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya pendidikan agama dipahami dalam sistem yang utuh dan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang harus dijalani oleh anak-anak.

Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak anak menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu, anak memiliki kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaannya dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Untuk maksud tersebut, sejak awal anak sudah diperlihatkan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkret, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara.